Budaya kemiskinan adalah satu sosok budaya kolektif, satu pola gaya hidup yang dikonstruki secara induktif melalui kumulasi perilaku, pola sikap, orientasinilai dan makin abstrak ke pola kognitif, pikiran, pilihan hidup dan menajdi satu pola gaya hidup.
KEARIFAN klasik nusantara memberi petuah, bahwa dalam membantu keluarga miskin akan jauh lebih bijak dan berdampak positif, apabila kepada merekayang miskin diberikan kail dibandingkan dengan disuguhkan ikan. Kepada mereka yang berkuasa dapat diberikan balas jasa kehormatan pada tata urut palingakhir, setelah rakyat tersenyum dalam nuansa kemakmuran, keadilan dalam bersamaan.
Petuah ini lebih merefleksikan kearifan mendasar dan jangka panjang, karena lebih berpeluang membangun disiplin, kreativitas, mentalitas produktif danpemuliaan harkat yang lebih manusiawi. Sebaliknya membagikan uang secara vulgar dan timpang, sangat terkesan materialistik, diskriminatif dan berpotensimembangun kepribadian bangsa yang konsumtif dan jauh dari empati. Kebijakan yang arahnya untuk memecahkan masalah, justru tampil mengakselerasimasalah baru yang lebih parah yaitu konstruksi budaya kemiskinan yang keras di tengah kehidupan publik.
Respons Publik
Pendataan penduduk miskin dan implementasi bantuan langsung tunai telah menimbulkan beragam respons publik. Di tataran permukaan banyak warga yang mensyukuri karena meringankan beban ekonomi tetapi secara luas dan mendalam banyak yang protes. Di berbagai wilayah tanah air bersumber dari informasi media masa, implementasi BLT memacu respons publik yang lebih mengarah ke aksi negatif, seperti unjuk kekerasan vertikal terhadap kadus, kaes danlurah. Juga muncul meledaknya kecemburuan dan konflik horisontal antara sesama warga yang mengarah ke disintegrasi
sosial terkait isu kolusi, diferensiasidan ketidak adilan, serta amuk masa di berbagai lokasi distribusi. Begitu juga terbuka peluang korupsi baru di tengah kehidupan negara yang sangat korup.
Berbagai fenomena kemiskinan serta kekerasan makin menenggelamkan citra Indonesia yang lagi terpuruk terkait dengan keamanan, korupsi dan kinikemiskinan yang makin terstruktur dan membudaya. Respons negatif ini diwarnai ekspresi kepedihan dari kekecewaan, kekerasan dan air mata.
Dalam konteks Bali,data jumlah penduduk miskin dilaporkan melonjak tajam, bahkan ada beberapa desa dan kecamatan yang melaporkan data pendudukmiskin naik melebihi 100%. Ada refleksi baru, bahwa orang Bali tidak merasa malu lagi mengidentifikasi diri sebagai orang miskin. Bahkan mereka beramairamai menyatakan diri miskin materi di tengah ramainya kolektiva eliteyang terjebak dalam kemiskinan moralrohani, sehingga mereka memperoleh partnersecara struktural. Syukur masyarakat Bali masih relatif mampu mengelola gerakan kemiskinan yang telah menggandeng ketegangan, konflik dan kekerasan.
Karakteristik Dasar
Konsep penduduk miskin yang populer dan formal adalah mengacu kriteria BPS, yaitu mereka yang miskin pangan, sandang, papan, kesehatan, pola hidup,dan tiadanya tabungan. Ada 9 dari 14itemsyang harus dipenuhi untuk masuknya seseorang atau keluarga dalam kategori penduduk miskin.Di samping rujukan yang bersifat fisik ekonomi, kini juga berkembang wacana tentang kolektiva miskin secara moralrohani terkait dengan kemiskinan moral, kemiskinan kepedulian dan kemiskinan hati nurani.
Kalau kemiskinan pisikekonomi cenderung tumbuh dan menjalar dari bawah, kemiskinan moralrohani cenderung mewabah dari bawah dan dari atas.Konvergensi dan komulasi kemiskinan dua arah akan lebih memperparah keadaan, karena sinergi kemiskinan kuantitatif dari bawah dan kemiskinankualitatif dari atas akan melahirkan sintesa sosial bersama kita bisa miskin, sesuatu realitas empirik yang tentu sangat paradoks dengan citacita bangsauntuk lebih maju dan beradab.
Lima karakteristik dasar budaya kemiskinan dan kolektiva pendukung budaya tersebut :
(1) Memiliki image of limited goods, sumber daya yang dipersepsikanserba terbatas, mumpung dan ada peluang harus diminta dan direbut;
(2) Mereka lemah dalam disiplin, inisiatif, rkeativitas, dan inovasi, apalagi untukkepentingan umum dan bangsa (3) Memiliki orientasi nilai yang tergantung pada nasib, sangat lemah dalam ikhtiar untuk merubah hidup dan kebiasaan;
(4)Mereka berada dalam struktur yang terhimpit, diremehkan dalam harkat dan martabat;
(5) Mereka cenderung merasa nyaman dalam posisi miskin dan sulitmenerima perubahan dan keluar dari jebakan budaya kemiskinan. Mereka juga cenderung meneruskan budaya kemiskinan kepada anak-cucunya.
Konstruksi Sosial
Dalam studi ilmuilmu sosial terungkap, budaya kemiskinan adalah satu sosok budaya kolekt, satu pola gaya hidup yang dikonstruksi secara induktif melaluikumulasi perilaku, pola sikap, orienti nilai dan makin abstrak ke pola kognitif, pikiran, pilihan hidup dan menajdi satu pola gaya hidup.
Budaya kemiskinanadalah satu konstruksi sosial terwujud makin mantap apabila memperoleh penguatan secara kuantitatif melalui besaran jumlah populasi miskin dan secarakualitatif melalui dukungan kebijakan publik dan penyandingan komparatif terkait dengan mentalitas sebangun sebagian kelomopk elite.
Budaya kemiskinan yang bersifat abstrak namun faktual, merupakan kristalisasi gaya hidup, sikap hidup dan filsafat hidup yang cenderung tampil sebagaibudaya negatif yang menyuburkan kemalasan, ketergantungan, lemah kreativitas dan ikhtiar, terhimpit dalam struktur, meremehkan kualitas dan martabat,dan merasa nyaman dalam status kemiskinan. Bangsa yang miskin dianalogikan sebagai bangsa kelas tiga yang memiliki citra buruk, remah dan dianggap tidak pantas sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Penduduk miskin merupakan realitas demografis-sosial ekonomis yang menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Pengentasannya adalah dengan metode memberikan kail yang mampu memacu produktivitas,pemberdayaan individu atau kolektif, serta perjuangan harkatkemanusiaan secara makin mandiri. Budaya kemiskinan merupakan fakta psikokultural yang terkonstruksi secara sosial. Budaya kemiskinan dengankarakteristiknya yang konsumtif, kontra produktif, enggan berubah dan merasa nyaman dalam kemiskinan bersama harus dicegah, dibatasi dan direformasimelalui perbaikan ekonomi, penyadaran kultural, penguatan struktur dan rehabilitasi mental.